Pertama bertemu dengannya aku begitu mengaguminya. Sosoknya yang anggun dan mempesona membuat kaum adam berdecak kagum, termasuk aku. Dan beruntungnya aku bisa akrab dengannya. Tentunya banyak kaum adam yang iri denganku. Tika namanya.
Tapi perasaanku begitu kacau ketika mengetahui Tika adalah janda beranak satu. Rasanya jantungku bagai ditusuk belati mengetahui kenyataan itu. Tapi apa mau dikata, cinta datang tiba - tiba dan kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Aku tak peduli akan status Tika, bahkan andai diapun bersuami aku tetap mencintainya.
“Bagaimana kalau kita pacaran?” Aku memberanikan diri menyatakan cinta pada Tika.
“Kamu ngawur! Aku ini janda beranak satu, mana pantas sama kamu!”
“Aku nggak peduli! Yang penting aku cinta sama kamu. Kamu juga cinta kan sama aku?” Aku menggenggam erat tangan Tika.
“Baiklah, asal kamu gak menyesal.”
“Aku gak akan menyesal sayang.” Ucapku lembut sembari mencium kening Tika.
Tapi semua tak berjalan sesuai rencana. Orangtuaku menentang hubunganku dan Tika. Bahkan dengan teganya mereka mengusir Tika! Apa sih salahnya berhubungan dengan seorang janda beranak? Toh mereka juga manusia yang butuh cinta!
“Rafael! Kamu jangan bikin malu mama dan papa! Buat apa kamu berhubungan sama wanita nggak jelas itu!”
“Tika bukan wanita nggak jelas Pa! Dia adalah orang yang Rafael cinta!”
“Kamu sadar nggak atas perkataanmu? Kita keluarga Tanubrata! Keluarga terhormat! Apa kamu nggak bisa cari wanita yang seumur kamu dan jelas belum pernah menikah!”
“Memang banyak wanita diluar sana tapi cuma Tika yang Rafael cinta!”
“Jangan membantah! Kamu anak tunggal keluarga Tanubrata! Apa kamu mau papa usir dan kamu jadi gembel dijalan?!” Papa membentakku. “Dua minggu lagi kamu harus menikah dengan wanita pilihan papa! Jangan pernah membantah! Lupakan wanita itu kalau kamu nggak mau hidup dijalan!”
Terpaksa aku menuruti kemauan orangtuaku. Jujur aku nggak sanggup hidup miskin dan menderita! Apalagi sampai jadi gembel dijalan! Aku! Rafael Tanubrata yang seumur hidup tidak pernah susah harus menjadi gembel? Pasti rasanya bagaikan neraka! Aku nggak sanggup!
Mungkin aku memang pengecut! Aku lebih takut hidup miskin daripada kehilangan Tika! Aku memang pria nggak berguna! Tika, aku harap kamu mengerti dan mau memaafkan aku. Aku memang nggak pantas buat kamu! Lelaki pengecut yang lebih memilih harta dibandingkan rasa cinta. Maafkan aku.
*
Tika? Sedang apa kamu sekarang? Apakah kamu akan datang ke pernikahanku hari ini? Tidak mungkin! Aku memang kejam, memberi Tika surat undangan pernikahanku! Aku nggak pantas jadi seorang lelaki. Maafkan aku Tika! Meskipun beribu bahkan berjuta maaf yang aku ucapkan tak mampu menghapus dosaku padamu.
Tiba saat pengucapan sumpah setia. Sejujurnya hatiku memberontak ingin menolak pernikahan paksa ini, tapi apa dayaku?
“Apa kalian berdua sudah siap?” tanya pendeta yang akan menikahkan aku dan Tania, wanita pilihan orangtuaku.
Aku mengangguk dengan terpaksa, sementara Tania tersenyum mantap.
“Baiklah. Apakah kamu, Tania Lubis Wibisono bersedia menerima Rafael Tanubrata sebagai suami mu baik dalam keadaan susah ataupun senang? Sehat ataupun sakit?”
Tania menjawab tanpa keraguan sedikitpun. “Saya bersedia!”
“Apakah kamu Rafael Tanubrata bersedia menerima Tania Lubis Wibisono sebagai istri baik dalam keadaan susah ataupun senang? Sakit ataupun sehat?” Pendeta Immanuel menatapku.
Kenapa hatiku ragu menjawab pertanyaan itu? Apa aku siap hidup bersama Tania? Hidup tanpa cinta?
“Rafael!!” Tania menyenggol lenganku meminta jawaban.
“Saya.....”
Braaaakkkkkkkk!!
Suara dentuman keras menggema. Para undangan berlarian keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mau tak mau aku sedikit lega karena masih punya waktu untuk menjawab ikrar pernikahan tadi. Aku melangkahkan kakiku mengikuti para undangan. Aku ingin sejenak menjauh dari Tania. Sebenarnya tak sedikitpun aku merasa penasaran tapi biarlah itung - itung mencari udara segar sebelum aku harus melanjutkan pernikahan yang gak aku hendaki.
“Apa disini ada yang bernama Rafael?” tanya seorang Bapak berperawakan gemuk.
Dengan kebingungan aku menjawab, “Saya Pak, memang kenapa?”
“Wanita yang tergeletak disana tadi menyebut -nyebut nama Rafael. Apa saudara kenal?”
Aku berjalan kearah yang ditunjukkan Bapak itu. Aku melihat seorang wanita tergeletak berlumuran darah. Semakin dekat semakin jelas siapa wanita itu. Tika? Apa aku cuma berhalusinasi atau itu memang Tika?
“Bagaimana mas? Apa anda kenal?” Bapak itu membuyarkan lamunanku.
“Eh...?” aku menggaruk dahiku yang tak gatal.
Aku menggosok - gosok mataku berharap apa yang aku lihat hanya sekedar mimpi. Tapi ternyata semua itu nyata, Tika tergeletak berlumuran darah didepan mataku.
“Tika??” Aku mengguncang - guncangkan tubuh Tika yang kaku. “Bangun Tika! Please? Aku belum minta maaf sama kamu!” Teriakku histeris.
“Maaf mas, saya harus membawa dia kerumah sakit.” ujar salah seorang pria berpakaian putih.
“Tolong selamatkan dia! Saya akan bayar berapapun asal dia selamat!”
Pria itu memeriksa denut nadi Tika. “Maaf mas, semuanya sudah terlambat.” Pria itu menggeleng lemah.
“Tidaaakkkkkkkkk!! Aku gak percaya!! Coba periksa lagi!!” paksaku kepada pria itu.
“Maaf mas. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan.”
“Bohooooooongggg!!!”
Pria itu tersenyum tipis. “Saya harap mas sabar.”
Aku memeluk Tika untuk terakhir kalinya. Aku sudah tak peduli meskipun pakaian pernikahanku kotor berlumuran darah. Semua ini salahku! Aku yang menyebabkan Tika tewas. Seandainya aku tak menggundangnya Tika tak mungkin datang dan tertabrak mobil.
Aku melihat secarik kertas dalam genggaman Tika. Kertas putih kusut yang telah berlumuran darah. Ternyata kertas itu adalah sepucuk surat yang ditujukan untukku. Aku membuka lipatan surat itu dan menemukan tulisan yang sangat ku kenal.
To: Fael
Kenapa akhir - akhir ini kamu jarang menghubungiku? Jujur aku sangat merindukanmu. Tiba - tiba surat undangan darimu datang, aku merasa kaget dan sedih. Tapi aku gak marah sama kamu, karena pasti sangat berat untuk memilih antara aku atau orangtuamu. Sungguh aku ingin sekali datang ke pernikahnmu tapi aku gak sanggup. Aku gak bisa melihat orang yang aku sayang bersanding dengan orang lain. Tapi tulus dari dalam hati, aku mendoakan kebahagianmu bersama pasanganmu.
Love Tika
Air mata mengalir dari kedua mataku, hatiku rasanya remuk bagai ditusuk belati. Bagaimana tidak? Aku begitu bodoh lebih memilih harta dan takut hidup dalam kemiskinan daripada memilih orang yang benar - benar tulus mencintaiku. Kini semuanya sudah terlambat hanya penyesalan yang menghampiri.
“Tikaaaaaaa!! Maafkan aku!!”
THE END ....
Tapi perasaanku begitu kacau ketika mengetahui Tika adalah janda beranak satu. Rasanya jantungku bagai ditusuk belati mengetahui kenyataan itu. Tapi apa mau dikata, cinta datang tiba - tiba dan kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Aku tak peduli akan status Tika, bahkan andai diapun bersuami aku tetap mencintainya.
“Bagaimana kalau kita pacaran?” Aku memberanikan diri menyatakan cinta pada Tika.
“Kamu ngawur! Aku ini janda beranak satu, mana pantas sama kamu!”
“Aku nggak peduli! Yang penting aku cinta sama kamu. Kamu juga cinta kan sama aku?” Aku menggenggam erat tangan Tika.
“Baiklah, asal kamu gak menyesal.”
“Aku gak akan menyesal sayang.” Ucapku lembut sembari mencium kening Tika.
Tapi semua tak berjalan sesuai rencana. Orangtuaku menentang hubunganku dan Tika. Bahkan dengan teganya mereka mengusir Tika! Apa sih salahnya berhubungan dengan seorang janda beranak? Toh mereka juga manusia yang butuh cinta!
“Rafael! Kamu jangan bikin malu mama dan papa! Buat apa kamu berhubungan sama wanita nggak jelas itu!”
“Tika bukan wanita nggak jelas Pa! Dia adalah orang yang Rafael cinta!”
“Kamu sadar nggak atas perkataanmu? Kita keluarga Tanubrata! Keluarga terhormat! Apa kamu nggak bisa cari wanita yang seumur kamu dan jelas belum pernah menikah!”
“Memang banyak wanita diluar sana tapi cuma Tika yang Rafael cinta!”
“Jangan membantah! Kamu anak tunggal keluarga Tanubrata! Apa kamu mau papa usir dan kamu jadi gembel dijalan?!” Papa membentakku. “Dua minggu lagi kamu harus menikah dengan wanita pilihan papa! Jangan pernah membantah! Lupakan wanita itu kalau kamu nggak mau hidup dijalan!”
Terpaksa aku menuruti kemauan orangtuaku. Jujur aku nggak sanggup hidup miskin dan menderita! Apalagi sampai jadi gembel dijalan! Aku! Rafael Tanubrata yang seumur hidup tidak pernah susah harus menjadi gembel? Pasti rasanya bagaikan neraka! Aku nggak sanggup!
Mungkin aku memang pengecut! Aku lebih takut hidup miskin daripada kehilangan Tika! Aku memang pria nggak berguna! Tika, aku harap kamu mengerti dan mau memaafkan aku. Aku memang nggak pantas buat kamu! Lelaki pengecut yang lebih memilih harta dibandingkan rasa cinta. Maafkan aku.
*
Tika? Sedang apa kamu sekarang? Apakah kamu akan datang ke pernikahanku hari ini? Tidak mungkin! Aku memang kejam, memberi Tika surat undangan pernikahanku! Aku nggak pantas jadi seorang lelaki. Maafkan aku Tika! Meskipun beribu bahkan berjuta maaf yang aku ucapkan tak mampu menghapus dosaku padamu.
Tiba saat pengucapan sumpah setia. Sejujurnya hatiku memberontak ingin menolak pernikahan paksa ini, tapi apa dayaku?
“Apa kalian berdua sudah siap?” tanya pendeta yang akan menikahkan aku dan Tania, wanita pilihan orangtuaku.
Aku mengangguk dengan terpaksa, sementara Tania tersenyum mantap.
“Baiklah. Apakah kamu, Tania Lubis Wibisono bersedia menerima Rafael Tanubrata sebagai suami mu baik dalam keadaan susah ataupun senang? Sehat ataupun sakit?”
Tania menjawab tanpa keraguan sedikitpun. “Saya bersedia!”
“Apakah kamu Rafael Tanubrata bersedia menerima Tania Lubis Wibisono sebagai istri baik dalam keadaan susah ataupun senang? Sakit ataupun sehat?” Pendeta Immanuel menatapku.
Kenapa hatiku ragu menjawab pertanyaan itu? Apa aku siap hidup bersama Tania? Hidup tanpa cinta?
“Rafael!!” Tania menyenggol lenganku meminta jawaban.
“Saya.....”
Braaaakkkkkkkk!!
Suara dentuman keras menggema. Para undangan berlarian keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mau tak mau aku sedikit lega karena masih punya waktu untuk menjawab ikrar pernikahan tadi. Aku melangkahkan kakiku mengikuti para undangan. Aku ingin sejenak menjauh dari Tania. Sebenarnya tak sedikitpun aku merasa penasaran tapi biarlah itung - itung mencari udara segar sebelum aku harus melanjutkan pernikahan yang gak aku hendaki.
“Apa disini ada yang bernama Rafael?” tanya seorang Bapak berperawakan gemuk.
Dengan kebingungan aku menjawab, “Saya Pak, memang kenapa?”
“Wanita yang tergeletak disana tadi menyebut -nyebut nama Rafael. Apa saudara kenal?”
Aku berjalan kearah yang ditunjukkan Bapak itu. Aku melihat seorang wanita tergeletak berlumuran darah. Semakin dekat semakin jelas siapa wanita itu. Tika? Apa aku cuma berhalusinasi atau itu memang Tika?
“Bagaimana mas? Apa anda kenal?” Bapak itu membuyarkan lamunanku.
“Eh...?” aku menggaruk dahiku yang tak gatal.
Aku menggosok - gosok mataku berharap apa yang aku lihat hanya sekedar mimpi. Tapi ternyata semua itu nyata, Tika tergeletak berlumuran darah didepan mataku.
“Tika??” Aku mengguncang - guncangkan tubuh Tika yang kaku. “Bangun Tika! Please? Aku belum minta maaf sama kamu!” Teriakku histeris.
“Maaf mas, saya harus membawa dia kerumah sakit.” ujar salah seorang pria berpakaian putih.
“Tolong selamatkan dia! Saya akan bayar berapapun asal dia selamat!”
Pria itu memeriksa denut nadi Tika. “Maaf mas, semuanya sudah terlambat.” Pria itu menggeleng lemah.
“Tidaaakkkkkkkkk!! Aku gak percaya!! Coba periksa lagi!!” paksaku kepada pria itu.
“Maaf mas. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan.”
“Bohooooooongggg!!!”
Pria itu tersenyum tipis. “Saya harap mas sabar.”
Aku memeluk Tika untuk terakhir kalinya. Aku sudah tak peduli meskipun pakaian pernikahanku kotor berlumuran darah. Semua ini salahku! Aku yang menyebabkan Tika tewas. Seandainya aku tak menggundangnya Tika tak mungkin datang dan tertabrak mobil.
Aku melihat secarik kertas dalam genggaman Tika. Kertas putih kusut yang telah berlumuran darah. Ternyata kertas itu adalah sepucuk surat yang ditujukan untukku. Aku membuka lipatan surat itu dan menemukan tulisan yang sangat ku kenal.
To: Fael
Kenapa akhir - akhir ini kamu jarang menghubungiku? Jujur aku sangat merindukanmu. Tiba - tiba surat undangan darimu datang, aku merasa kaget dan sedih. Tapi aku gak marah sama kamu, karena pasti sangat berat untuk memilih antara aku atau orangtuamu. Sungguh aku ingin sekali datang ke pernikahnmu tapi aku gak sanggup. Aku gak bisa melihat orang yang aku sayang bersanding dengan orang lain. Tapi tulus dari dalam hati, aku mendoakan kebahagianmu bersama pasanganmu.
Love Tika
Air mata mengalir dari kedua mataku, hatiku rasanya remuk bagai ditusuk belati. Bagaimana tidak? Aku begitu bodoh lebih memilih harta dan takut hidup dalam kemiskinan daripada memilih orang yang benar - benar tulus mencintaiku. Kini semuanya sudah terlambat hanya penyesalan yang menghampiri.
“Tikaaaaaaa!! Maafkan aku!!”
THE END ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar