Pendahuluan
Tepat pada tanggal 1 Januari 2015 yang lalu
bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal dengan ASEAN akan
memasuki era baru dalam hubungan integrasi perekonomian dan perdagangan dalam
bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Siap atau tidak siap semua negara di
kawasan ASEAN sudah harus meleburkan batas territorial negaranya dalam satu
pasar bebas yang diperkirakan akan menjadi tulang punggung perekonomian di
kawasan Asia setelah China.
Menghadapi MEA, di satu sisi masyarakat ASEAN
seharusnya bergembira. Betapa tidak, MEA diharapkan dapat menciptakan komunitas
regional yang diproyeksikan dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan
regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar
dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan standard hidup penduduk negara anggota ASEAN.
Namun di sisi lain, kita juga harus mengakui bahwa MEA
dapat menjadi salah satu jalan berkembangnya budaya homo economi lupus, di mana
yang kuat memangsa yang lemah. Bayangkan, negara ASEAN adalah negara yang
majemuk dari segi kemajuannya. Data perekonomian negara-negara ASEAN tahun
2010[1] yang diukur dari besarnya Gross Domestic Product (GDP) perkapita
menunjukkan kesenjanagan (gap) yang begitu besar antara the highest dan the
lowest. Singapura sebagai negara maju di kawasan ASEAN memiliki pendapatan
perkapita sebesar US$ 53.180. Sedangkan Myanmar sebagai juru kunci hanya
memiliki pendpatan perkapita sebesar US$ 468,6. Pendapatan penduduk Myanmar
tidak mencapai 1% pendapatan penduduk Singapura. Dengan kondisi seperti ini,
akankah negara seperti Myanmar tersebut hanya akan menjadi bulan-bulanan
Singapura dalam pentas masyarakat ekonomi ASEAN? Lalu bagaimana dengan negeri
tercinta, Indonesa? GDP Indonesia mencapai US$3.010,1 di tahun 2010 dan
US$3.542,9 di tahun 2011. Angka hanya 5,66 % dari GDP Singapura. Namun perlu
juga diingat bahwa di ASEAN Indonesia menyumbang 40% pasar bagi barang dan jasa
yang diperdagangkan.
Indonesia sebagai salah satu bagian dalam integrasi MEA tentu harus bersiap
menghadapi era bebas tanpa batas ala MEA ini. Perekonomian Indonesia secara
nasional diharapkan dapat terus tumbuh dengan baik untuk menunjang persaingan
(competitiveness) di kawasan ASEAN. Industri ekonomi dan perbankan syariah
sebagai bagian struktur perekonomian bangsa Indonesia juga tidak lepas dari
tuntutan. Namun, realita yang ada adalah bahwa sebagian pihak masih
mengkhawatirkan hadirnya MEA sebagai sebuah ancaman karena pasar potensial
domestik akan diambil oleh pesaing dari negara lain. Padahal, Kekhawatiran
tersebut sesungguhnya tidak beralasan jika memang kita mampu menunjukkan daya
saing (competitiveness) yang tinggi. Sebagai negara dengan penduduk muslim
terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan
industri dan keuangan syariah di ASEAN bahkan dunia. Hal ini bukan merupakan
‘impian yang mustahil’ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player
keuangan syariah sangatlah besar. Sehingga Indonesia melalui industri keuangan
dan perbankan syariahnya akan mampu bersaing dalam kancah MEA. Meskipun tentu
saja diakui bahwa di balik peluang dan kondisi yang dapat mendorong hal ini,
juga terdapat ancaman-ancaman yang justru dapat menghambat perkembangan dan
penguatan industri keuangan dan perbankan syariah sebagai salah satu pilar
penyokong perekonomian bangsa Indonesia.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
MEA merupakan sebuah kesepakatan di antara
negara-negara ASEAN dalam rangka penguatan di berbagai sektor, terutama sebagai
bentuk pertahanan dari goncangan global. Implementasi kebijakan ini mirip
dengan Free Trade Area (FTA) yang akan yang dilaksanakan pada tahun 2020 nanti,
namun dalam cakupan yang lebih kecil yaitu ASEAN. Kebijakan ini telah
direncanakan jauh hari sebelumnya, namun karena kebutuhan yang mendesak
khususnya dalam hal kerja sama bilateral dan penguatan negara-negara ASEAN dari
serangan produk luar negeri maka diajukanlah implementasi MEA paling lambat
tahun 2015.
Dalam integrasi MEA, terdapat empat hal yang akan
menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan sebagai momentum yang
baik bagi bagsa-bangsa di ASEAN. Pertama, negara-negara di kawasan ASEAN ini
akan dijadikan sebagai sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan
terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka arus barang, jasa,
investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada
hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan ASEAN.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi
dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang
meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights
(IPR), taxation dan e-commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan
yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen
perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan
jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan
sistem double taxation dan meningkatkan perdagangan dengan media elektronik
berbasis online.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang
memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha
Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan
dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar,
pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan,
serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap
perekonomian global, dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan
koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan
partisipasi negara-negara di kawasan ASEAN pada jaringan pasokan global melalui
pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara- negara anggota ASEAN yang
kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri
dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka
pada skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara
global.
Berdasarkan ASEAN Economic Blueprint, MEA menjadi
sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN
dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan meningkatkan ketergantungan
anggota-anggota di dalamnya. MEA dapat mengembangkan konsep meta-nasional dalam
rantai suplai makanan, dan menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat
menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN.
MEA merupakan terobosan baru yang disetujui oleh para kepala negara di ASEAN.
Hal ini tentu saja dipilih sebagai pembangkit ekonomi yang pernah ambruk pada
tahun 1997 dan pernah juga krisis pada tahun 2009. Tentu kita tak ingin sekadar
bangkit saja, tetapi juga ingin mempercepat pertumbuhan perekonomian.
Kita tahu pasar terbesar ada di Asia. Selain sebagai pasar, Asia juga telah
bangkit untuk mengekspansi negara-negara besar, seperti produk-produk buatan
China dan India yang telah mengekspansi negara-negara besar di dunia. Oleh
karena itu, dalam rangka percepatan pembaharuan ekonomi, kebijakan MEA menjadi
sangat dibutuhkan agar ASEAN tak hanya sebagai loser dalam persaingan global.
Peluang Industri Perbankan Syariah Indonesia
Menghadapi MEA
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar[2],
sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan industri
keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’
karena potensi dan peluang Indonesia untuk menjadi global player keuangan
syariah sangat besar khususnya dalam mengahdapi MEA, diantaranya : (i) jumlah
penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah;
(ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang
solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment
grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor
keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber
daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi
industri keuangan syariah.
Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih
bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan
tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Arab Saudi,
dan Malaysia sebagai salah Negara di kawasan ASEAN, di mana perkembangan
keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan
peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi,
penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan
syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika
negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan
komoditas. Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia
lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan
negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah
bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa
dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan
sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di
bawah Bank Negara Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen.
Halim (2012) dalam sebuah kajiannya menyatakan bahwa
peningkatan peranan industri keuangan syariah Indonesia menuju global player
juga terlihat dari meningkatnya ranking total aset keuangan syariah dari urutan
ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset
sebesar US$7,2 miliar (Tabel 1). Dengan melihat perkembangan pesat keuangan
syariah, terutama perbankan syariah dan penerbitan sukuk, total aset keuangan
syariah Indonesia pada tahun 2011 diyakini telah melebihi US$20 miliar sehingga
rankingnya akan meningkat signifikan.
Hal yang paling pokok adalah bahwa industri perbankan
sayraiah memiliki peluang yang besar karena terbukti tahan terhadap krisis.
Bahkan setelah kegagalan sistem ekonomi kapitalis, sistem syariah dipandang
sebagai sebuah alternatif dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi
dunia. Menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti
bahwa sistem ini memiliki ketahanan terhadap krisis. Hal ini pun telah
dibuktikan ketika Krisis Ekonomi 1988, di saat bank konvensional mengalami
negative spread, namun bank Syariah tampil sebagai perbankan yang sehat dan
tahan terhadap krisis dan memperlihatkan eksistensinya hingga sekarang. Bank
Indonesia pun memberikan perhatian yang serius dalam mendorong perkembangan
perbankan syariah, dikarenakan keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa
‘maslahat’ bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Pertama, bank syariah memberikan dampak yang lebih nyata dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi karena lebih dekat dengan sektor riil sebagaimana yang
telah dikemukakan di atas. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif
(gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari
krisis keuangan global. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang
menjadi ruh perbankan syariah yang akan membawa manfaat yang lebih adil bagi
semua pihak.
Tantangan MEA Bagi Industri Perbankan Syariah
Indonesia
Industri perbankan syariah terbesar di Indonesia saat
ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga belum ada yang
masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia[3].
Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan
bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya
skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah
efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap
ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan.
Halim (2012) dalam sebuah penelitiannya, dengan
menggunakan indikator rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional
(BOPO) pada tiga bank sampel untuk masing-masing kategori terlihat bahwa bank
syariah masih kalah efisien dibanding dengan bank konvensional (Lihat Tabel 1).
Namun dari sisi Net Operational Margin (NOM), beberapa bank syariah lebih
unggul. Dari sisi profitabilitas, Return On Asset (ROA) bank syariah lebih
kecil dari bank konvensional, namun dari sisi Return On Equity (ROE) lebih
besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi permodalan bank syariah relatif lebih
kecil dibanding bank konvensional.
Tabel 1. Perbandingan Indikator Bank Syariah dan
Konvensional di Indonesia
Kemudian apabila tiga sampel bank syariah tersebut
dibandingkan dengan bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah, terlihat
bahwa indikator BOPO bank syariah di Indonesia juga lebih tinggi atau masih
kalah efisien. Hal ini juga terlihat dari indikator Net Operational Margin (NOM)
bank syariah di Indonesia yang masih sangat bervariasi dan secara rata-rata
lebih tinggi dari bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah. Namun
demikian, bank syariah di Indonesia lebih profitable dibanding dengan bank
syariah di Malaysia maupun Kawasan Timur Tengah, terlihat dari tingginya
indikator ROA maupun ROE (Lihat Tabel 2). Tak heran jika banyak investor asing
yang tertarik untuk mendirikan atau membeli bank syariah di Indonesia.
Profitabilitas yang tinggi ini tentunya akan mempercepat akselerasi pertumbuhan
aset bank syariah di Indonesia sehingga dapat mencapai skala ekonomi yang
efisien.
Tabel 2. Perbandingan Indikator Perbankan Syariah
Antar Negara
Tantangan lainnya dalam menghadapi MEA 2015 adalah
diferensiasi produk keuangan syariah di Indonesia yang dinilai masih kurang.
Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri keuangan syariah di
Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan
kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga maqasid syariah. Hal ini berbeda
dengan negara lain yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang
dan pasar modal) lebih dominan.
Secara esensi, struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia akan lebih
kuat dibanding dengan negara lain. Kekurangan instrumen di pasar keuangan
syariah tersebut berdampak pada pengelolaan likuiditas perbankan syariah.
Pengelolaan likuiditas perbankan syariah masih mengandalkan mekanisme Pasar
Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan menggunakan instrumen Sertifikat
Investasi Mudharabah (SIMA), dan melakukan penempatan di instrumen yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia, yakni FASBI Syariah dan SBI Syariah. Masih
sedikit sekali portofolio penempatan pada instrumen sukuk. Tingginya porsi
pengelolaan likuiditas perbankan syariah pada instrument bank sentral
menyebabkan pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan
mekanisme self adjustment menjadi kurang optimal.
Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS)
dan mekanisme transaksi ‘komoditi murabahah’ dapat menjadi suatu terobosan
instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan syariah dalam melakukan
pengelolaan likuiditasnya. Ketersediaan instrumen pengelolaan likuiditas
menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya krisis yang berkelanjutan pada
industri keuangan syariah. Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat membantu
industri dalam melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk
perbankan syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah
tersebut diisi oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai dengan
kondisi pasar keuangan dan perbankan syariah domestik.
Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius
adalah upaya untuk memenuhi gap Sumber Daya Insani (SDI) dari tenaga kerja
domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah
satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled
and talented labours. Keberadaan skilled labours adalah faktor penting dalam
menghadapi MEA 2015. Bila boleh dikatakan, barang, jasa, investasi, dan modal
semua dikendalikan oleh skilled labours. Karena itu tenaga kerja (SDM) yang
mempuni mutlak dibutuhkan untuk “memenangkan” tujuan Indonesia dalam MEA. Jika
kita jadikan GDP sebagai tolak ukur atas kualitas skilled labours Indonesia
dalam mengendalikan barang, jasa, dan modal maka dapat kita katakan bahwa
kualitas skilled labours Indonesia masih jauh di bawah tiga negara penghuni
kasta teratas yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Inilah tantagan yang kita
hadapi saat ini. Di mana keberadaan skilled labours yang berbasiskan syariah
alias para sarjana ekonomi islam? Seberapa besar kontribusinya untuk
perekonomian dan industri perbankan syariah Indonesia saat ini? Para sarjana
ekonomi islam yang merupakan mesin penggerak ekonomi yang berbasiskan syariah
itu masih tergolong gagal dalam mengambil hati pasar domestik. Rakyat Indonesia
saat ini masih cenderung menyukai transaksi secara konvensional yang cenderung
liberal dan kapitalis. Para pelaku ekonomi di tanah air ini masih menjadikan
transaksi syariah sebagai pilihan kedua atau bahkan lebih rendah daripada itu.
Inilah bukti bahwa peran dari para sarjana ekonomi islam terhadap perekonomian
Indonesia masih terbilang belum optimal.
Secara logika, untuk mengurus dan merebut pasar
domestik saja para praktisi ekonomi islam Indonesia masih ‘gelabakan’, apalagi
jika harus menargetkan dan merebut pasar ASEAN yang mana tambahan target
pasarnya adalah mayoritas dari kalangan non muslim. Ditambah lagi dengan
kompetitor dari negara lain yang memiliki persiapan, strategi, dan modal yang
lebih mumpuni dibandingkan para paraktisi ekonomi islam di Indonesia. Sebagai
contoh negara Malaysia yang mendapatkan sokongan penuh dari pemerintahannya
terhadap pengembangan perekonomian secara syariah. Bagaimana dengan Indonesia?
Apakah dengan keadaan seperti ini MEA akan menjadi berkah bagi ekonomi
Indonesia terutama melalui jalur syariah?Ataukah tunas perkembangan ekonomi
syariah di tanah air akan sirna olehnya? Sekali lagi, inilah tantangan
kontemporer bagi perkembangan industri keuangan dan perbankan syariah.
Di antara langkah yang dapat diambil adalah pelaku
industri perbankan syariah dapat bekerjasama mendirikan ‘pusat pendidikan dan
pelatihan perbankan syariah’ untuk mencetak tenaga ahli guna memenuhi gap
tersebut daripada saling bersaing dan melakukan ‘pembajakan pegawai’. Ikatan
Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tentunya dapat berperan dalam menyediakan tenaga ahli
untuk mengajar di pusat pendidikan dan pelatihan tersebut. Agar lebih terarah
dan tepat guna, IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian untuk
mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan
syariah sehingga strategi ‘link and match’ dapat dijalankan.
Penutup
Berbagai peluang dan tantangan di atas menunjukkan
bahwa upaya keras dari seluruh stakeholders industri keuangan syariah
sangat dibutuhkan. Perlu keterpaduan langkah dari para praktisi, akademisi
maupun asosiasi agar pengembangan menjadi lebih efektif dan efisien karena
dapat menghindari terjadinya redundancy dan suaranya menjadi lebih di dengar.
sehingga industri keuangan syariah nasional semakin berkualitas, berkembang
secara berkelanjutan dan mampu bersaing dalam kancah persaingan global,
khususnya dalam menyambut MEA 2015.
Daftar Pustaka
Alamsyah, Halim. 2012. Perkembangan dan Prospek
Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015. Ceramah
Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012
Plummer, M, G., &Yue, C, S. 2009. Realizing the
ASEAN Economic Community: A Comprehensive Assessment. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies.
Santoso, W. et.al. 2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi ekonomi
ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional. Jakarta: Biro Riset Ekonomi Direktorat
Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter.