Minggu, 08 Maret 2015

Industri Perbankan Syariah Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 : Peluang dan Tantangan Kontemporer


Pendahuluan
Tepat pada tanggal 1 Januari 2015 yang lalu bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal dengan ASEAN akan memasuki era baru dalam hubungan integrasi perekonomian dan perdagangan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Siap atau tidak siap semua negara di kawasan ASEAN sudah harus meleburkan batas territorial negaranya dalam satu pasar bebas yang diperkirakan akan menjadi tulang punggung perekonomian di kawasan Asia setelah China.
Menghadapi MEA, di satu sisi masyarakat ASEAN seharusnya bergembira. Betapa tidak, MEA diharapkan dapat menciptakan komunitas regional yang diproyeksikan dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standard hidup penduduk negara anggota ASEAN.
Namun di sisi lain, kita juga harus mengakui bahwa MEA dapat menjadi salah satu jalan berkembangnya budaya homo economi lupus, di mana yang kuat memangsa yang lemah. Bayangkan, negara ASEAN adalah negara yang majemuk dari segi kemajuannya. Data perekonomian negara-negara ASEAN tahun 2010[1] yang diukur dari besarnya Gross Domestic Product (GDP) perkapita menunjukkan kesenjanagan (gap) yang begitu besar antara the highest dan the lowest. Singapura sebagai negara maju di kawasan ASEAN memiliki pendapatan perkapita sebesar US$ 53.180. Sedangkan Myanmar sebagai juru kunci hanya memiliki pendpatan perkapita sebesar US$ 468,6. Pendapatan penduduk Myanmar tidak mencapai 1% pendapatan penduduk Singapura. Dengan kondisi seperti ini, akankah negara seperti Myanmar tersebut hanya akan menjadi bulan-bulanan Singapura dalam pentas masyarakat ekonomi ASEAN? Lalu bagaimana dengan negeri tercinta, Indonesa? GDP Indonesia mencapai US$3.010,1 di tahun 2010 dan US$3.542,9 di tahun 2011. Angka hanya 5,66 % dari GDP Singapura. Namun perlu juga diingat bahwa di ASEAN Indonesia menyumbang 40% pasar bagi barang dan jasa yang diperdagangkan.

Indonesia sebagai salah satu bagian dalam integrasi MEA tentu harus bersiap menghadapi era bebas tanpa batas ala MEA ini. Perekonomian Indonesia secara nasional diharapkan dapat terus tumbuh dengan baik untuk menunjang persaingan (competitiveness) di kawasan ASEAN. Industri ekonomi dan perbankan syariah sebagai bagian struktur perekonomian bangsa Indonesia juga tidak lepas dari tuntutan. Namun, realita yang ada adalah bahwa sebagian pihak masih mengkhawatirkan hadirnya MEA sebagai sebuah ancaman karena pasar potensial domestik akan diambil oleh pesaing dari negara lain. Padahal, Kekhawatiran tersebut sesungguhnya tidak beralasan jika memang kita mampu menunjukkan daya saing (competitiveness) yang tinggi. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan industri dan keuangan syariah di ASEAN bahkan dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangatlah besar. Sehingga Indonesia melalui industri keuangan dan perbankan syariahnya akan mampu bersaing dalam kancah MEA. Meskipun tentu saja diakui bahwa di balik peluang dan kondisi yang dapat mendorong hal ini, juga terdapat ancaman-ancaman yang justru dapat menghambat perkembangan dan penguatan industri keuangan dan perbankan syariah sebagai salah satu pilar penyokong perekonomian bangsa Indonesia.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
MEA merupakan sebuah kesepakatan di antara negara-negara ASEAN dalam rangka penguatan di berbagai sektor, terutama sebagai bentuk pertahanan dari goncangan global. Implementasi kebijakan ini mirip dengan Free Trade Area (FTA) yang akan yang dilaksanakan pada tahun 2020 nanti, namun dalam cakupan yang lebih kecil yaitu ASEAN. Kebijakan ini telah direncanakan jauh hari sebelumnya, namun karena kebutuhan yang mendesak khususnya dalam hal kerja sama bilateral dan penguatan negara-negara ASEAN dari serangan produk luar negeri maka diajukanlah implementasi MEA paling lambat tahun 2015.
Dalam integrasi MEA, terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan sebagai momentum yang baik bagi bagsa-bangsa di ASEAN. Pertama, negara-negara di kawasan ASEAN ini akan dijadikan sebagai sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan ASEAN.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation dan e-commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem double taxation dan meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global, dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan ASEAN pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara- negara anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.
Berdasarkan ASEAN Economic Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan meningkatkan ketergantungan anggota-anggota di dalamnya. MEA dapat mengembangkan konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN.
MEA merupakan terobosan baru yang disetujui oleh para kepala negara di ASEAN. Hal ini tentu saja dipilih sebagai pembangkit ekonomi yang pernah ambruk pada tahun 1997 dan pernah juga krisis pada tahun 2009. Tentu kita tak ingin sekadar bangkit saja, tetapi juga ingin mempercepat pertumbuhan perekonomian.
Kita tahu pasar terbesar ada di Asia. Selain sebagai pasar, Asia juga telah bangkit untuk mengekspansi negara-negara besar, seperti produk-produk buatan China dan India yang telah mengekspansi negara-negara besar di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka percepatan pembaharuan ekonomi, kebijakan MEA menjadi sangat dibutuhkan agar ASEAN tak hanya sebagai loser dalam persaingan global.
Peluang Industri Perbankan Syariah Indonesia Menghadapi MEA
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar[2], sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan industri keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’ karena potensi dan peluang Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar khususnya dalam mengahdapi MEA, diantaranya : (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Arab Saudi, dan Malaysia sebagai salah Negara di kawasan ASEAN, di mana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan komoditas. Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen.
Halim (2012) dalam sebuah kajiannya menyatakan bahwa peningkatan peranan industri keuangan syariah Indonesia menuju global player juga terlihat dari meningkatnya ranking total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$7,2 miliar (Tabel 1). Dengan melihat perkembangan pesat keuangan syariah, terutama perbankan syariah dan penerbitan sukuk, total aset keuangan syariah Indonesia pada tahun 2011 diyakini telah melebihi US$20 miliar sehingga rankingnya akan meningkat signifikan.
Hal yang paling pokok adalah bahwa industri perbankan sayraiah memiliki peluang yang besar karena terbukti tahan terhadap krisis. Bahkan setelah kegagalan sistem ekonomi kapitalis, sistem syariah dipandang sebagai sebuah alternatif dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dunia. Menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti bahwa sistem ini memiliki ketahanan terhadap krisis. Hal ini pun telah dibuktikan ketika Krisis Ekonomi 1988, di saat bank konvensional mengalami negative spread, namun bank Syariah tampil sebagai perbankan yang sehat dan tahan terhadap krisis dan memperlihatkan eksistensinya hingga sekarang. Bank Indonesia pun memberikan perhatian yang serius dalam mendorong perkembangan perbankan syariah, dikarenakan keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa ‘maslahat’ bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah memberikan dampak yang lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena lebih dekat dengan sektor riil sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari krisis keuangan global. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah yang akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak.
Tantangan MEA Bagi Industri Perbankan Syariah Indonesia
Industri perbankan syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia[3]. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan.
Halim (2012) dalam sebuah penelitiannya, dengan menggunakan indikator rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) pada tiga bank sampel untuk masing-masing kategori terlihat bahwa bank syariah masih kalah efisien dibanding dengan bank konvensional (Lihat Tabel 1). Namun dari sisi Net Operational Margin (NOM), beberapa bank syariah lebih unggul. Dari sisi profitabilitas, Return On Asset (ROA) bank syariah lebih kecil dari bank konvensional, namun dari sisi Return On Equity (ROE) lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi permodalan bank syariah relatif lebih kecil dibanding bank konvensional.
Tabel 1. Perbandingan Indikator Bank Syariah dan Konvensional di Indonesia

tabel 1
Kemudian apabila tiga sampel bank syariah tersebut dibandingkan dengan bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah, terlihat bahwa indikator BOPO bank syariah di Indonesia juga lebih tinggi atau masih kalah efisien. Hal ini juga terlihat dari indikator Net Operational Margin (NOM) bank syariah di Indonesia yang masih sangat bervariasi dan secara rata-rata lebih tinggi dari bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah. Namun demikian, bank syariah di Indonesia lebih profitable dibanding dengan bank syariah di Malaysia maupun Kawasan Timur Tengah, terlihat dari tingginya indikator ROA maupun ROE (Lihat Tabel 2). Tak heran jika banyak investor asing yang tertarik untuk mendirikan atau membeli bank syariah di Indonesia. Profitabilitas yang tinggi ini tentunya akan mempercepat akselerasi pertumbuhan aset bank syariah di Indonesia sehingga dapat mencapai skala ekonomi yang efisien.
Tabel 2. Perbandingan Indikator Perbankan Syariah Antar Negara
tabel 2

Tantangan lainnya dalam menghadapi MEA 2015 adalah diferensiasi produk keuangan syariah di Indonesia yang dinilai masih kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga maqasid syariah. Hal ini berbeda dengan negara lain yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang dan pasar modal) lebih dominan.
Secara esensi, struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia akan lebih kuat dibanding dengan negara lain. Kekurangan instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Pengelolaan likuiditas perbankan syariah masih mengandalkan mekanisme Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan menggunakan instrumen Sertifikat Investasi Mudharabah (SIMA), dan melakukan penempatan di instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yakni FASBI Syariah dan SBI Syariah. Masih sedikit sekali portofolio penempatan pada instrumen sukuk. Tingginya porsi pengelolaan likuiditas perbankan syariah pada instrument bank sentral menyebabkan pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan mekanisme self adjustment menjadi kurang optimal.
Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS) dan mekanisme transaksi ‘komoditi murabahah’ dapat menjadi suatu terobosan instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan syariah dalam melakukan pengelolaan likuiditasnya. Ketersediaan instrumen pengelolaan likuiditas menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya krisis yang berkelanjutan pada industri keuangan syariah. Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat membantu industri dalam melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk perbankan syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah tersebut diisi oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi pasar keuangan dan perbankan syariah domestik.
Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap Sumber Daya Insani (SDI) dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled and talented labours. Keberadaan skilled labours adalah faktor penting dalam menghadapi MEA 2015. Bila boleh dikatakan, barang, jasa, investasi, dan modal semua dikendalikan oleh skilled labours. Karena itu tenaga kerja (SDM) yang mempuni mutlak dibutuhkan untuk “memenangkan” tujuan Indonesia dalam MEA. Jika kita jadikan GDP sebagai tolak ukur atas kualitas skilled labours Indonesia dalam mengendalikan barang, jasa, dan modal maka dapat kita katakan bahwa kualitas skilled labours Indonesia masih jauh di bawah tiga negara penghuni kasta teratas yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Inilah tantagan yang kita hadapi saat ini. Di mana keberadaan skilled labours yang berbasiskan syariah alias para sarjana ekonomi islam? Seberapa besar kontribusinya untuk perekonomian dan industri perbankan syariah Indonesia saat ini? Para sarjana ekonomi islam yang merupakan mesin penggerak ekonomi yang berbasiskan syariah itu masih tergolong gagal dalam mengambil hati pasar domestik. Rakyat Indonesia saat ini masih cenderung menyukai transaksi secara konvensional yang cenderung liberal dan kapitalis. Para pelaku ekonomi di tanah air ini masih menjadikan transaksi syariah sebagai pilihan kedua atau bahkan lebih rendah daripada itu. Inilah bukti bahwa peran dari para sarjana ekonomi islam terhadap perekonomian Indonesia masih terbilang belum optimal.
Secara logika, untuk mengurus dan merebut pasar domestik saja para praktisi ekonomi islam Indonesia masih ‘gelabakan’, apalagi jika harus menargetkan dan merebut pasar ASEAN yang mana tambahan target pasarnya adalah mayoritas dari kalangan non muslim. Ditambah lagi dengan kompetitor dari negara lain yang memiliki persiapan, strategi, dan modal yang lebih mumpuni dibandingkan para paraktisi ekonomi islam di Indonesia. Sebagai contoh negara Malaysia yang mendapatkan sokongan penuh dari pemerintahannya terhadap pengembangan perekonomian secara syariah. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah dengan keadaan seperti ini MEA akan menjadi berkah bagi ekonomi Indonesia terutama melalui jalur syariah?Ataukah tunas perkembangan ekonomi syariah di tanah air akan sirna olehnya? Sekali lagi, inilah tantangan kontemporer bagi perkembangan industri keuangan dan perbankan syariah.
Di antara langkah yang dapat diambil adalah pelaku industri perbankan syariah dapat bekerjasama mendirikan ‘pusat pendidikan dan pelatihan perbankan syariah’ untuk mencetak tenaga ahli guna memenuhi gap tersebut daripada saling bersaing dan melakukan ‘pembajakan pegawai’. Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tentunya dapat berperan dalam menyediakan tenaga ahli untuk mengajar di pusat pendidikan dan pelatihan tersebut. Agar lebih terarah dan tepat guna, IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah sehingga strategi ‘link and match’ dapat dijalankan.
Penutup
Berbagai peluang dan tantangan di atas menunjukkan bahwa upaya keras dari seluruh stakeholders industri keuangan syariah sangat dibutuhkan. Perlu keterpaduan langkah dari para praktisi, akademisi maupun asosiasi agar pengembangan menjadi lebih efektif dan efisien karena dapat menghindari terjadinya redundancy dan suaranya menjadi lebih di dengar. sehingga industri keuangan syariah nasional semakin berkualitas, berkembang secara berkelanjutan dan mampu bersaing dalam kancah persaingan global, khususnya dalam menyambut MEA 2015.

Daftar Pustaka
Alamsyah, Halim. 2012. Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015. Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012
Association of Southeast ASEAN Nations. 2008. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta: Asean Secretariat
Azizon. 2012. Analisa Perbandingan Kesiapan Perbankan Syariah Indonesia Dengan Malaysia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015. http://azizonbinjamaan.wordpress.com/?s=sarjana. Diakses pada tanggal 21 Juni 2014
Baskoro, Arya. 2013. Peluang, Tantangan, dan Risiko Bagi Indonesia Dengan Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN. http://crmsindonesia.org/node/624. Diakses pada tanggal 23 Juni 2014
Fernandez, R. A. 2014. Yearender: Asean Economic Community To Play Major Role In SEA Food Security.
IAEI.2014. MEA 2015: Tantangan dan Peluang Bagi Industri Keuangan dan Perbankan Islam Indonesia. http://iaei-pusat.org/agenda/agenda-rutin-iaei/mea-2015-tantangan-dan-peluang-bagi-industri-keuangan-dan-perbankan-islam-indonesia-1?language=id. Diakses pada tanggal 21 Juni 2014

Jatmiko, Wahyu, Azizon. 2012. Sarjana Ekonomi Islam Indonesia, Belum Siap!. http://azizonbinjamaan.wordpress.com/?s=sarjana. Diakses pada tanggal 23 Juni 2014

Paoji, Anep. 2014. Ekonomi Islam Harus Berperan Dalam MEA 2015. http://bandung.bisnis.com/m/read/20140610/82443/510582/ekonomi-islam-harus-berperan-dalam-mea-2015. Diakes pada tanggal 21 Juni 2014
Plummer, M, G., &Yue, C, S. 2009. Realizing the ASEAN Economic Community: A Comprehensive Assessment. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Santoso, W. et.al. 2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional. Jakarta: Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
Zaid, Khoirul. 2013. Peluang, Tantangan MEA 2015. http://zadidtaqwa.blogspot.com/2013/02/peluang-tantangan-mea-2015.html?m=1. Diakses pada tanggal 23 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar