Jumat, 11 Januari 2013

CERPEN



Cerpen http:/ google.com
Dua wajah Ibu
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumulin cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyammuk rimba yang saban pagi menyentubuhi kulitnya saat menyadap karet  nun jauh di pedalaman sumatra selatan sana: tanah abang.
Ia menarik nafas , melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan nafasnya. Suara musik, iklan dan segala hal. perempuan itu kembali menghela nafas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur kompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul tenggelam. Air keruh memenuhi bak pelastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busah deterjeen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah mainang belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimbah jakarta, di antara semak belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang menggembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrap dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding teriplek anak lanangnya. Bahkan, mainang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got jakarta yang bertubuh hitam besar lebih gemuk melebihi kucing hitamnya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu  kota jakarta yang kerap di ceritakan ornag-ornag di kampungnya. suatu tempat yang paling asing, aneh,dan begitu menakjukan dalam cerita maripah, mak sangkut , dan beberapa perempuan kampung karipnya, lepas perempuan—perempuan itu mengunjungi anak bujang ataupun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia.serba mewah,serba manis,serba tak bisa ia bayangkan.
“kesinilah, ema . tengoklah anak-anak ku cucu bujang ema. Parasnya rupawan mirip almarhum ebak,” itulah suara jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melihat kening saat mengetahui suaraa itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
“dengan siapa emak keesitu?” lontarnya. Ada keeinginan yang menyeruak seketika di dada mak inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat jakarta. Ibu kota yang telah di kunjungi karib-karibnya.. tapi, ia selalu tak punya aalasan kesana, walau anak lanangnya yang Cuma satu satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah di boyong suami mereka di kampung sebelah, merantaau ke kota iitu. Sebelum pernah jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu jamal memintanya datng, ia lekas-lekas menanggapinya.
“tanyai kurti, mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, mak pakai duit emak duluan. Nanti, bila aku sudah gajian, emak ku ongkosi pulang dan kukembaalikan ongkos emak kesini.” Itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraannya. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak inang kembali mennghela nafas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa ttelah tersesat di rimba jakarta di semak-belukar kontrakan bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar